“Hey, what do you wear? So unique!” kata temanku Maria yang berasal dari Rusia.
“What
is this? This is so pretty!” Hyeonjeong dari Korea memuji penampilanku.
Hari itu merupakan hari festival
kebudayaan di universitasku di Korea Selatan. Sebagai duta pelajar dari
Indonesia, aku mengenakan baju tradisional atasan kebaya dengan bawahan batik
tulis. Sejujurnya, aku sebelumnya tak pernah mengenakan kain batik. Bahkan aku
merasa risih dan canggung, takut-takut kain itu akan melorot. Aku hanya
mengenakan batik sebagai seragam saat masih duduk di bangku SMA, itu pun karena
diwajibkan. Akan tetapi, hari ini aku mengenakannya dengan penuh kebanggaan.
Bagaimana tidak?
Multicultural Day Festival di Korea Selatan |
Tak lama kemudian, aku mengganti busana kebaya dan kain batik dengan terusan batik modern agar dapat leluasa bergerak. Terusan batik yang kukenakan tampak
menarik perhatian. Bahannya yang halus dan lembut membuat banyak pelajar dari
negara lain bertanya kepadaku, bagaimana caranya dibuat? Beberapa dari mereka
bahkan berebut ingin memegang kain tersebut. Tak pernah kusadari, ternyata kain
batik memiliki pesona yang begitu besar dan menawan. Warna dan coraknya yang
unik melambangkan berbagai makna filosofis. Adakah kain lain yang proses pembuatannya memiliki
makna sedalam kain batik? Bahkan kain batik telah dinobatkan oleh UNESCO sebagai warisan sejarah terhadap dunia.
Aku tiba-tiba saja teringat suasana saat
itu di sentra batik Jogja, hampir sepuluh tahun lalu lamanya. Hujan agak gerimis tak dihiraukan oleh para
wanita renta. Tangan-tangan tua itu bergerak dengan lincah, tak sesuai dengan
kondisi jemari mereka yang tinggal tulang berbungkus kulit dengan urat nadi
yang menonjol. Yang kuherankan, tak satupun dari mereka yang mengenakan
kacamata. Padahal, alur-alur batik tampak begitu rumit dan keakuratan dalam
mewarnai sangat penting dalam pengerjaannya. Warna-warna berpadu begitu indah
dan membuai. Canting-canting bergerak dalam sunyi. Kesenyapan itu bagai
menciptakan harmoni yang menyatu dengan alam.
Aku yang berkunjung dengan kedua orang tuaku mencoba mengamati dengan
serius. Kedua orangtuaku sudah berlalu untuk membayar kain belanjaan mereka di
area kasir. Seorang nenek yang mulutnya merah karena mengunyah sirih
menawarkanku untuk memegang cantingnya. Dengan lembut, ia memegang tanganku dan
kami berdua mengguratkan seni di atas sebuah kain. Aku terpesona, tak pernah
menyangka bahwa sebuah kain batik dibuat dengan menjunjung tinggi ketulusan,
kejujuran dan kesetiaan dari pembuatnya. Lebih kaget lagi saat aku mengetahui
lamanya membuat kain batik, minimal beberapa minggu hingga hitungan bulan.
Batik dalam Segala Suasana |
Lamunanku buyar saat pembawa acara mengumumkan bahwa tim Indonesia
memenangkan kejuaraan busana terbaik. Setelah menjadi pemenang dalam festival
kebudayaan, aku semakin percaya diri saat mengenakan busana batik. Ibuku yang
pencinta batik sejati mengirimkan beberapa helai pakaian batik modern.
Potongannya yang simpel dan manis membuat ia dapat dikenakan dengan jins dan
acara santai lainnya. Teman-temanku dari negara lain tampak semakin tertarik
dengan batik, bahkan mereka ingin ikut memesan batik lewat Ibuku. Dalam benakku, alangkah sayangnya bila hanya segelintir kaum muda yang menunjukkan kecintaannya terhadap batik, terlebih mereka yang tinggal di luar Indonesia. Padahal, cukup dengan mengenakan batik, kita dapat menjadi duta budaya.
Aku berharap suatu hari nanti citra batik Indonesia akan semakin mendunia. Keindahan dan keunikan kain batik bukan hanya dari motifnya yang menyegarkan mata. Jika kita dapat menjelaskan dengan detail dan mempertunjukkan teknik pembuatan batik, pembuatannya yang penuh ketekunan dan kesabaran akan menciptakan kekaguman warga dunia. Peran dinas pariwisata dan pemerintah daerah seperti Jogjakarta tentunya sangat esensial untuk menciptakan iklim kreatif dan memperkenalkan batik kepada warga mancanegara. Warga asing dapat dibuatkan kursus singkat mencanting batik atau tur khusus berburu batik ke pelosok daerah. Hal ini akan meningkatkan pamor dan menyemai bibit ketertarikan warga asing terhadap batik.
Setengah dekade telah berlalu. Nasib
membawaku tinggal di belahan dunia yang lain, tepatnya di benua Eropa. Angin
bertiup amat dingin di Manchester, tandanya musim dingin yang hampir tiba. Aku
sedang bersiap dari dalam kamar apartemenku di Manchester, untuk menghadiri pelantikan
wisuda S2. Hujan membasahi jalanan, bahkan salju kecil-kecil turun dari langit.
“Kamu
yakin mau pakai itu? Udaranya dingin sekali lho?” Ibuku bertanya dengan nada
prihatin. Mungkin ia takut anaknya jatuh sakit.
“Yakin Ma, aku pakai baju dalam lagi koq. Lagipula cantik khan?” jawabku meyakinkan. Aku ingin mengenakan kain batik pada hari wisudaku, karena aku percaya tidak ada baju lain yang dapat membuatku merasa begitu bangga. Pilihanku tentunya tidak salah, karena teman-temanku dari mancanegara memuji dan mengatakan tak pernah melihat kain seunik itu sebelumnya. Kain batik Indonesia, persembahan dari Indonesia untuk dunia yang tiada duanya.
Batik Indonesia - Persembahan untuk Dunia |
ditulis oleh Alexandra Hana, untuk merayakan Hari Batik Nasional dan menyambut Jogja Batik Biennale dengan tema Batik Indonesia untuk Dunia. #BiennaleBatikJogja #BatikIndonesia
3 comments
Hi Hana,
ReplyDeleteKayaknya aku kenal yang di foto Multicultural Day Festival di Korea Selatan
Yang pakai batik tu Ginanjar bukan ya? :P
mari kita perkenalkan batik indonesia pada dunia.. hehe
ReplyDeletekalau bukan kita siapa lagi yang memperkenalkan batik dan ciri khas indonesia ke dunia.. hhe
ReplyDelete